RESPONDING
PAPER AGAMA SHINTO KUNO
OLEH
: RITA HARDIANTI
1.
Sejarah
Shinto
adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan
“To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik
roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To”
berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau
“jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata
“Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan
dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan
besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan
Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa
Jepang sampai sekarang.Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat
tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan
hidup.
Shintoisme
(agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa
(animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam.Shintoisme dipandang
oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang
telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada
mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang.
Setelah abad ketujuh belas timbul
lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor
Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa
Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang
dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan
kelangsungankepercayaannya.
Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
2. Kepercayaan
agama Shinto
Dalam agama Shinto yang merupakan
perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap
gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun
yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula
berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya
kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto),
daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
Istilah
“Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”,
sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka
kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan
sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek
pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang
ada dalam agama lain. Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas,
bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno
Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan
terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang
positif.Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu
memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah.Oleh sebab
itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya
dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu
tidak terbatas jumlahnya.
konsepsi kedewaan agama Shinto,
yaitu :
1.
Dewa-dewa
yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap
dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
2.
Dewa-dewa
tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
3.
Dewa-dewa
tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di
tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
3. Kitab
suci agama Shinto
Kitab suci yang tertua dalam agama
Shinto itu ada dua buah, akan tetapi disusun sepuluh abad setelah meninggalnya
Jimmu Tenno sang Kaisar Jepang yang pertama, dan dua buah laki disusun pada
masa belakangan, keempat kitab itu adalah :
1. Kojiki, yang bermakna : catatan
peristiwa purbakala disusun pada tahun 712 M, setelah Kekaisaran Jepang
berkedudukan di Nara yang pada waktu itu ibu kota Nara dibangun pada tahun 710
M, arsitek ini seperti ibukota Changan di Tiongkok.
2. Nihonji, yang bermakna : riwayat
Jepang, disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu sang
pangeran di istananya.
3. Yengishiki, yang bermakna : berbagai
lembaga pada masa Yengi. Kitab itu disusun pada abad ke 10 M terdiri atas lima
puluh bab. Dan sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah-kisah purbakala
yang bersifat kultus. Dan dilanjutkan dengan kisah selanjutnya sampai abad ke
10 M, tetapi inti dari kitab ini ialah mencatat 25 buah Nurito, yakni
do’a-do’a, atau pujaan yang sangat panjang pada berbagai macam upacara
keagamaan.
4. Manyoshiu, yang bermakna : himpunan
sepuluh ribu daun, berisikan Bungan Rampai, terdiri dari atas 4496 buah sajak,
disusun antara abad ke 5 dengan abad ke 8 M.
4.
Upacara
pemujaan
Upaca
resmi dan bersifat menyeluruh bagi bangsa Jepang di pustakan di kui Ise, yang
terletak pada pesisir tenggara Kyoto, bebas ibukota tua itu, bagi pemujaan
Amaterasu Omi Kami (dewi matahari).
Tepatnya
berada dikuil Naiku, kuil tua yang terletak pada bagian dalam dank anon
dibangun pada tahun 4 SM, kuil itu sangat terpandang suci bagi pemujaan Dewi Matahari,
sedangkan pada bagian luar terdapat kuil Geku bagi pemujaan Dewi Makanan, Dewi
Ukemochi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan