Agama Jain
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah
“Agama-agama Minor”
“Agama-agama Minor”
Dosen Pembimbing : Hj.Siti Nadroh,
M.Ag
Disusun Oleh :
Zaimah
Imamatul B
1110032100023
IIs Sholihah
1110032100025
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA VI/A
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
2013
1.
Sejarah dan
perkembangan agama jain
Agama jain
adalah sebuah agama monastic kuno dari india. Agama ini menolak otoritas weda
sebagaimana halnya agama budhha. Agama ini muncul pada zaman wiracarita yakni masa akhir zaman
brahmana, ketika ada perdebatan antara aliran teistis dan non teistis. Menurut
Jhon A Hutchison agama inijuga agama budhha
muncul di zaman heresies (zaman pilihan) yang timbul karena dua alasan,
yang pertama karena waktu itu orang tidak mengakui adanya otoritas sacral Weda.
Kemudian yang kedua yakni pada waktu itu orang menolak batu ujian ortodoksi
hindu yaitu apa yang disebut kasta.[1]
Mengenai
sejarahnya, Agama
Jaina bermakna : agama Penaklukan. Yang dimaksudkan penaklukan adalah penaklukan
kodrat-kodrat Syahwati dalam tata hidup manusiawi[2],
sebenarnya ajaran agama jain ini telah lahir sejak dulu, agama jain mengakui
bahwa ada 24 Thirtankara atau jiwa sempurna yang kesemuanya dipercayai telah
menyebarkan ajaran agama jain keseluruh dunia[3]
dari dua puluh empat thirtankara tersebut, Vardhamana atau yang dikenal dengan
Mahavira yakni Thirtankara yang ke 24 adalah tokoh jainisme yang paling dikenal
dan para penganut agama jain merasa ajaran jain telah cukup sempurana tatkala
ditangannya.[4]
Jainisme
sndiri mulai diakui keberadaannya di magadha, india utara sekitar abad ke-6 dan
ke-5 sebelum masehi pada waktu itu mahavira menyebarkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu mahavira lebih dikenal sebagai nabi jainisme, bukan
penciptanya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa mahavira dianggap bukan
yang paling dulu menyebarkan ajaran-ajaran jainisme tersebut. Namun diakui
bahwa diantara sekian banyak tirthankara, Mahavira adalah yang paling akhir
turun ke Dunia ini. Sehingga Ialah yang menyampaikan dan menyempurnakan
ajaran-ajaran agama jain.[5]
Agama Jaina sendiri lahir berdasarkan
reaksi dari ketiak setujuannya terhadap ajaran-ajaran agama Hindu, maka pada
saat itu terjadi pemberontakan besar terhadap agama Hindu yang dipimpin oleh
Mahavira. Mahavira lahir pada
tahun 599 SM, ayahnya bernama Sidarta yang merupakan seorang anggota dalam
majelis yang memerintah Bandar atau kesatuan ketentaraan di india. Ibunya
merupakan anak dari ketua majelis itu yang bernama Tri Sala.[6]
Mahavira dilahirkan di wilayah republik Vaisali (Behar), di kampung
Basarh, kira-kira 27 mil di sebelah utara kota Patna.[7]
Sejak kecil Mahavira sangat gemar mengikuti majelis-majelis dan ahli-ahli
agama yang mana memang tinggal atau menumpang diwilayah kerajaannya. Sebenarnya
ia ingin mendalami ilmu-ilmu agama atau ketuhanan, akan tetapi keadaan tidak
dapat mengizinkannya mendalami agama tersebut karena kedudukan keluargannya
yang mengurus hal-hal politik dan peperangan serta hidup dalam kesenangan dan
kemewahan. Nama mahavira sendiri bukan nama asli dia, nama aslinya adalah
“vhardamana”. Dia dipanggil mahavira itu sendiri setelah ada kejadian dimana
pada suatu ketika ada seekor gajah yang terlepas dari kandangnya kemudian
merusak apa-apa yang menghalangi jalanya dia, tidak ada satu-pun orang yang
bisa menangkap dan menjinakan hewan itu. Dan ketika sedang bermain vhardamana
melihat gajah tersebut dan dia langsung menangkapnya dan menjinakannya padahal
usiannya baru 7 tahun. Akhirnya rakyat kerajaan Moghadah amat memujikan
keberanian pangeran muda itu, sejak itu-pun dia dipanggil Mahavira (perwira
perkasa). Dia juga dinamakan jaina yang berarti ‘gagah perkasa’ dan dengan
sifat itulah agama tersebut diberi nama agama jaina. Dia menikah dengan puteri
yasodha dan dikarunia satu orang anak.[8]
Anak Mahavira diberi nama Anoja.[9]
Awal mula dari kemunculan agama jaina ialah ketika
mahavira menyaksikan prilaku kasta brahmana ( Brahmin ) yang banyak
melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga membuat dia muak pangeran muda
tersebut. Apalgi ketika ia menyaksikan kematian kedua orang tuanya dalam
keadaan lapar padahal mereka hidup dalam kemewahan, itu dilakukan kedua
orangnya Karena dalam ajaran hindu mengatakan kematian dalam keadaan
lapar merupakan suatu kematian yang suci ( holy death ). Setelah kedua
orang tuanya meninggal itulah dia berkata kepada saudaranya :
“ saudara, untuk berkabung atas kemangkatan ibu-bapak kita, saya berkehendak
mengangkat sumpah bahwa dua belas tahun lamanya saya akan mengabaikan tubuh
menahankan bencana apapun yang datang dari kodrat-kodrat gaib maupun manusia
atau-pun hewan “. ( SBE. 22-200 ).
Mahavira melakukan perjalanan mengembara sebagai seorang
kafir, dan bersumpah “ dalam masa 12 tahun terhitung mulai dari saat ini saya
tidak akan mengucapkan sepatah katapun“. Dari sumpah itu dia mendapatkan banyak
pelajaran, diantaranya dia itu lebih baik dari kata. Mahavira juga tidak
membenarkan membunuh apa-apa yang bernyawa. Kemudian ajaran-ajarannya banyak
didukung oleh kalangan raja-raja karena salah satu ajarannya adalah tidak boleh
menyakiti benda-benda yang mempunyai ruh tetapi telah mewajibkan rakyat agar
taat dan setia kepada orang yang memerintah, barang siapa yang melanggar atau
menentang akan disembelih kepalannya. Apalagi seruannya mengandung sesuatu yang
membayangkan isi hati mereka dalam menentang golongan brahmana. Penyebaran
hasil pemikirannya disebar melalui padato-pidato dan ceramah-ceramah diberbagai
kota di india. Dari perjalanannya itu kemudian pengikut jaina lebih kurang satu
juta orang dan semuanya berada di india seperti agama hindu, pada keseluruhannya tata sosial dan pendidikan mereka bersifat tinggi. Sumber-sumber suci dikalangan para
pengikut jaina adalah pidato-pidato mahavira yang dikumpulkan bersama-sama dan
dijilid menjadi suatu sumber hukum. Sehingga disetujui bahwa bahasa
kepustakaan suci ini adalah suatu bahasa yang dinamakan “ Ardha Majdi “.
Tatkala timbul niat untuk menjaga dan menyusunnya, maka digunakan bahasa
sanskerta. Kitab tersebut berisikan tentang pesan-pesan dan sumber hukum dari para pengikut agama jaina. Kitab suci Jaina yaitu
“Siddahanta” yang bermakna perintah, ajaran, bimbingan. Kitab suci ini terdiri
ari 12 buah Angas (Bab).[10]
Ia mulai
melakukan meditasi dan merasakan kesengsaraan hidup dengan tujuan mencapai
kebebasan tuntas. Pada tahun ke 13 dari masa pertapanya, ia berhasil memperoleh
pengetahuan agung yang disebut kevala dan berhasil memasuki nirwana pada usia
72 tahun di kota Pavapuri, juga di Behar. Sejak saat itu kota Pavapuri menjadi
pusat ziarah para penganut agama Jain. Hari peringatan tahunan pencerahan agama
Hindu, yang disebut Diwali, dijadikan hari ziarah di kota tersebut, karena
diduga pada hari itu pula Mahavira berhasil mencapai nirwana. Dalam kuil utama
agama Jain di kota ini ditemukan cap-cap kaki Mahavira yang dianggap sakral.[11]
Perkembangan Jainisme
Telah disebutkan di atas bahwa penyebaran hasil pemikiran Mahavira disebar melalui padato-pidato dan
ceramah-ceramah diberbagai kota di india. Dari perjalanannya itu kemudian pengikut jaina lebih kurang satu juta
orang dan semuanya berada di india seperti agama hindu, pada keseluruhannya tara sosial dan penidikan
mereka bersifat tinggi.[12]
Dewasa ini ada
lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka terutama ditemukan di India.
Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk golongan menengah ke
atas. Agama Jaina itu mewariskan bangunan-bangunan kuil yang amat terkenal
keindahan arsitekturnya di India dan senantiasa dikunjungi wisatawan.[13]
Agama jinisme
dikenal di Asia Selatan (India) dan disebarkan oleh Vardamina (546 SM) yang
berasal dari keluarga yang sangat
berkuasa pada masanya. Vardamina selama dua belas tahun hidup menjadi anggota
masyarakat pertapa yang bernama Nirgrantha. Pada tahun ke-13 dalam pengembaraannya
Vardamina mendapatkan ilham atau wahyu penerangan tentang hakikat Tuhan yang
Maha Tahu, yang mengerti akan segala sesuatu yang ada di jagad raya ini baik
yang tersembunyi maupun yang nampak. Dan pada selama tiga puluh tahun kemudian
Vardamina menyiarkan agamanya. Dan setelah Vardamina Mahavira meninggal aliran
jainisme pecah menjadi dua yaitu Svetambara (memakai jubah putih) dan Digambara
(berpakaian langit atau telanjang) perpecahan tersebut terjadi Sekitar
tahun 310 SM yakni lebih kurang tiga abad sepeninggal Mahavira. Perpecahan itu
disebabkan musim paceklik di India utara. Sejumlah 12.000 orang dari jemaat
jaina itu dibawah pimpinan Badhrabahu, melakukan perpindahan menuju ke belahan
selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat
terpecah menjadi dua, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Belahan utara
beriklim dingin dan be;lahan selatan beriklim panas. Di dalam wilayah yang
beriklim panas itu, pakaian tidak diperlukan. Sedangkan di belahan utara lebih
mengutamakan bertarak dan bertapa tetapi perpecahan itu belum resmi.
Kemudian
Sekitar tahun 82 Masehi perpecahan itu menjadi resmi dan disebabkan masalah
pakaian. Jemaat yang mendiami di belahan utara pegunungan vindaya selalu
mengenakan pakaian putih, dan jemaat ini yang disebut dengan sekte svetambara (jemaat
berpakaian putih). Sedangkan jemaat yang mendiami di belahan selatan pegunungan
vindaya tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun karena beriklim panas.
Jemaat itu disebut dengan digambara (jemaat bertelanjang bugil bagaikan
langit).
Masalah
pakaian itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara
kedua sekte. Sekte digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira didalam
pengembaraannya, yang tidak peduli terhadap kebutuhan duniawi. Tetapi sejak
abad ke 7 M, yakni semenjak anak benua India itu berada dibawah kekuasaan
islam. Maka jemaat digambara mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidaknya
mengenakan celana dalam.
Selain
itu Persentuhan agama Jaina dengan agama Islam juga menjadi bagian dari
perkembangan agama jain. Persentuhan keduanya pada anak benua India itu lambat
laun menimbulkan pengaruh dalam lingkungan agama Jaina itu. Pada tahun 1474 M lahir suatu sekte baru, yaitu Stanavaksi. Ini muncul dari lingkungan
sekte Svetambara pada belahan India Utara. Sekte ini merupakan gerakan
reformasi dalam agama Jaina, yakni gerakan pembaharuan. Mereka berusaha
mendalami dan menyelidiki kitab suci Siddanta (agama) itu, lalu memisahakan
angas yang dapat dipandang otentik dan angas yang dipandang susunan pada masa
belakangan. Di dalam angas yang dipandang otentik itu tidak dijumpai pemujaan
terhadap patung dan berhala. Justru kuil-kuil yang menjadi milik jemaat
Sthanavaksi itu, sampai kepada masa sekarang ini, tidak berhiaskan patung
apapun juga.[14]
2.
Ajaran
dan praktik kegamaan
A.
Kitab Suci
sumber-sumber
suci dikalangan para pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira.
Kemudian pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para
murid-muridnya,orang-orang arif,pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber
kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu
dikarenakan takut ajaran-ajarn ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran
yang lain maka pada abad ke-4 SM namun ada juga yang menyebut pada130 SM, para
penganut jaina mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan
naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini
diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang
digunakan dalam kitab ini adalah bahasa ardha majdi atau prakit. Namun bahasa
tersebut hanya digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk
menjaga isinya kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta.[15]
Sedangkan
kitab siddhanta sendiri terdiri dari 12 anggas sebelumnya, semua itu adalah
himpunan yang terdiri dari pidato-pidato mahvira. Namun anggas yang kedua belas
telah lenyap sampai kini,tidak bisa diketemukan lagi. Namun tentang jumlah
anggas seluruhnya, yang merupakan bagian dari kitab suci dijumpai perbedaan
pendirian diantara sekte-sekte didalam agama jaina itu. Seperti sekte digambara
mengakui ada 80 anggas dari bagian kitab suci agama jaina sedangkan sekte
swetambara mengakui hanya 45 anggas saja. Sedangkan gerakan reformasi agama
jaina hanya 33 anggas saja.[16]
B.
System kepercayaan agama jain
1.
Konsepsi tentang tuhan
Agama jain atau
jainisme menolak adanya tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau penguasa
dunia ini. Walaupun demikian menurut hut chison, paham jainisme tidak termasuk
atheis, melainkan disebut non-teisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak paha
agama tersebut tentang apa yang disebut tuhan. Agama jain mengakui keberadaan
apa yang disebut sang “Maha Kuat”, namun mengatakan bahwa sang maha kuat
tersebut termasuk pula manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit
atau tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri darinya.[17]
Para pakar
telah mencoba meneliti mengapa jainisme menolak tuhan, namun mereka baru
memperkirakan saja mengenai sebab tersebut. Yakni yang pertama. Jainisme merasa
tuhan-tuhan itu tidak ada perlunya karena manusia sendiri mampu mencapai
kelepasan melalui kekuatannya sendiri tanpa harus bergantung secara neurotic
terhadap kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya. Kedua, karena tuhan-tuhan itu
malah seolah-olah dianggap sebagai hal yang dijelaskan berdasarkan
prinsip-prinsip irasional.[18]
Sebab
lainnya yang perlu dopertimbangkan adalah latar belakang krisis politik dan
kemerosotan kemasyarakatan pada saat itu. Kemudian Pentingnya upacara korban
dan pentingnya kedudukan para Brahmana sebagai tulang punggung sistem kasta.[19]
2.
Konsepsi tentang alam
Jainisme
menganut filsafat dualisme, yaitu membagi alam saemesta ini menjadi dua
kategori: zat yang hidup (jiva) dan zat yang tidak hidup (ajiva). Ajiva
memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala), dharma, adharma, ruang (akasa)
dan waktu (kala). Unsure jiva dan keenam unsure ajiva tersebut disebut denga
enam dravya.
Menurut agama
ajarang agama jain substansi jiva dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan,
tidak ada permulaan dan tidak berakhir. Atau dengan kata lain
tidak ada sebab pertama yang menyebabkan terjadinya substansi-substansi
tersebut.
Kemudian selain
pembagian menurut kedua kategori tersebut, maka dari sudut pandang lain
berbeda, substansi-substansi tersebut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi dua
yakni astikaya dan nastikaya.[20]
Menurut
kosmologi jainisme alam semesta ini adalah abadi, alam semesta ini bergerak
melalui satu lingkaran terus-menerus dari stau tempat yang ideal menuju kearah
titik bawah lalu dilanjutkan menaik lagi melalui titik atas dan begitu
seterusnya. Menurut agama jain alam semesta ini bergerak bukan karena adanya
tuhan melainkan bergerak secara mekanistis belaka.[21]
3.
Konsepsi tentang karma
Jainisme tetap
menerima ajaran tentang karma-samsara dalam pemikiran tradisional india, dan
mengajarkan bahw karma terjadi karena tercampurnya jiva dan ajiva. Konsep karma
dalam jainisme berpangkal pada prinsip
dualism antara jiwa dan benda, atas dasra prinsip tersebut, menurut jainisme
tubuh manusia itu memenjarakan jiwanya.
Menurut
jainisme karma adalah energy jiwa yang dengan energy itu menyebabkan
penggabungan jiwa dan benda dan kekotoran berikutnya dari jiwa itu. Menurut
jain karma bisa dibersihkan, prose pembersihan karma disebut dengan nirjana,
jika proses nirjana ini berjalan terus tanpa rintagan maka pada akhirnya semua
karma akan tercabut dari jiwa dan akan mencapai tujuan utama hidup.[22]
Tujuan utama dari orang Jain adalah menjadi seorang Paramatman,
satu jiwa yang sempurna. Ini akan dicapai ketika semua lapisan karma, yang
dianggap sebagai substansi, dibuang, yang memungkinkan jiwa muncul ke atas
sampai di langit-langit alam semesta, dari kegelapan kepada cahaya, dimana, di
luar Dewa-dewa dan perpindahan jiwa yang sedang terjadi, jiwa tinggal selamanya
dalam kebahagiaan yang sunyi dari moksha. Moksha didefiniskan dalam agama Jain
sebagai pembebasan, penyatuan diri (self-unity) dan integrasi, kesendirian yang
murni dan ketenangan yang abadi, bebas dari tindakan dan keinginan, bebas dari
karma dan kelahiran kembali. Moksha dapat dicapai dalam hidup ini atau pada
waktu setelah mati. Ketika ia dicapai, manusia telah memenuhi tujuannya sebagai
manusia-Tuhan (man-God). Bagi agama Jain tidak ada Tuhan pencipta dan, karena
itu, tidak ada persatuan dengan Tuhan. Hakikat dari jiwa adalah kesadaran murni,
kekuatan, kebahagiaan dan maha tahu.[23]
4.
Pandangan tentang pencerahan
Tujuan akhir
dari ajaran jain adalah untuk mencapai kehidupan yang sempurna memperoleh
pengetahuan tentang pencerahan dan akhirnya moksa yakni terlepas dari siklus
kelahiran kembali.
Menurut agama
jain jiwa yang telah mencapai kesempurnaan atau pencerahan menyebabkan
pemiliknya mencapai tingkat kesalehan dan kesempurnaan dari luar. Sebagai
contoh para tirthankara yang kesemuanya telah diakui berhasil mencapai
kesempurnaan itu. Kemudian orang yang telah mencapai kesempurnaan jua akan
dapat menikmati empat macam atribut yakni persepis yyang tak terbatas,
pengetahuan yang tak terbatas, kekuatan yang tak terbatas dan kebahagiaan yang
tak terbatas. Kesempurnaan jiwa seperti ini dapat dirasa ketika dia amsih hidup
atau sudah mati.[24]
5.
Tentang Epsitemologi
Dalam aspek
epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka bahwa persepsi hanyalah
satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika kita menolak kemungkinan
memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi dan testimoni orang lain, kita
semestinya meragukan validitas persepsi, karena sekalipun persepsi kadang-kadang
bisa bersifat ilusi. Padahal carvaka sendiri memakai inferensi (anumana) ketika
mengatakan bahwa semua inferensi adalah invalid, dan juga ketika mereka menolak
eksistensi objek-objek karena mereka tidak dilihat. Disamplng persepsi, jaina
menerima inferensi dan testimony (sabda) sebagai sumber pengatahuan valid.
Inferensi menberikan pengetahuan valid ketika ia mengikuti kaidah-kaidah logis
yang tepat. Testimoni valid ketika ia merupakan laporan otoritas terpercaya.
Atas otoritas ajaran-ajaran orang-orang sucu yang telah terbebaskan (jaina atau
tirthankara) orang-orang pengikut ajaran ini mendapatkan pengetahuan yang benar
yang tidak dapat diperoleh oleh orang yang masih terbatas. Testimoni
Tirthankara ini tidak diragukan lagi ke-validan-nya.[25]
Jaina mengklasifikasikan
pengetahuan menjadi, pengetahuan langsung (aparoksa) dan pengetahuan antara
(paroksa). Pengetahuan langsung lebih lanjut lagi dibagi lagi menjadi avadhi,
manahparyaya dan kepala; dan pengetahuan antara menjadi mati dan sruta. Mati
mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial. Sruta berarti pengetahuan yang
diambil dari otoritas. Avadhi-jnana, manahparyaya-jnana, dan kevala-jnana
merupakan tiga jenis pengetahuan langsung yang bisa dikatakan sebagai persepsi
ekstra biasa dan ekstra sensori avadhi adalah kemampuan melihat hal-hal yang
tidak Nampak oleh indra; manahparyaya adalah telepathi; dan kevala adalah
kemahatahuan. Disamping kelima pengetahuan benar tersebut diatas, ada juga tiga
pengetahuan salah, yaitu samshaya atau keragu-raguan, viparyaya atau kesalahan
dan anandhyavasaya atau pengetahuan salah melalui kesamaan.[26]
Pengetahuan
lagi dibagi menjadi dua jenis, yaitu pramana atau pengetahuan tentang suatu
benda seperti apa adanya, dan naya atau pengetahuan tentang suatu benda didalam
hubungannya dengan yang lainnya. Naya berarti titik pandang atau pendapat dari
mana kita membuat pernyataan tentang sesuatu . Semua kebenaran adalah relativ
terhadap pandangan kita. Pengetahuan parsial merupakan salah satu aspek yang
takterhitung banyaknya tentang suatu benda disebut “naya” . Terdapat
tujuh naya yang empat pertama adalah artha-naya, kemudian tiga terakhir disebut
sabda-naya.[27]
6.
Jaina percaya dengan pluralisme roh; terdapat
roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh dalam binatang, tetapi
juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga diterima dalam ilmu
pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara sama memilki kesadaran, ada yang
lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju apapun indria-indrinya, roh
terbelenggu dalam pengetahuan y6ang terbatas; juga terbatas dalam tenaga dan
mengalami segala jenis penderitaan.Tetapi setiap roh mampu mencapai kesadaran
tak terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti
matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat menyebabkan belenggu roh. Dengan
menyingkirkan karma roh dapat memindahkan belenggu dan mendapatkan kesempurnaan
alamiah.[28]
Tiga
cara menyingkirkan belenggu, yaitu keyakinan yang sempurna dalam ajaran-ajaran
guru-guru jaina, pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut, dan perilaku
yang benar. Perilaku benar terdiri atas praktek tidak menyakiti atau melukai
seluruh makhluk hidup, menghidari kesalahan, mencuri, sensualitas, dan
kemelakatan objek-objek indriya, mengkombinasikan ketiganya di atas, perasaan
akan dikendalikan dan karma yang membelenggu roh akan disingkirkan. Lalu, roh
mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas, pengetahuan tak terbatas,
dan kebahagian yang tak terbatas. Inilah keadaan miksa menurut ajaran jaina.
Hal ini telah dibukatikan oleh guru-guru dalam tradisi jaina atau Tirthankara.
Mereka memperlihatkan jalan menuju moksa.[29]
7.
Tentang Metafisika
Di dalam aspek
metafisikanya, jainisme mengambil posisi realistik dan pluralism relativistik.
Ia disebut atau doktrin pluralistik realitas. Material dan spirit dipandang
sebagai realitas-realitas yang independen dan terpisah. Terdapat atom-atom
material yang tak terhitung jumlahnya dan roh-roh individu aspek-aspek dirinya
yang juga tak terhitung jumlahnya. Sebuah benda mempunyai karakteristik yang
tak hingga jumlahnya . setiap objek mempunyai karakter positif dan negative
yang tak terhitung jumahnya. Adalah tak mungkin bagi manusia biasa untuk
mengetahui semuanya itu. Kita hanya tahu sebagian kecil saja. Oleh karena itu,
jainisme mengatakan ia yang mengetahui semua sifat benda di dalam satu
benda, mengetahui semua sifat semua benda, dan ia mengetahui semua sifat semua
benda. Mengatahui senua sifat di dalam satu benda. Pengetahuan manusia, dengan
melihat kapasitasnya yang terbatas , ia adalah relativ dan terbatas dan
semuanya merupakan keputusan kita. Teori logika dan epistemologi Ajaran jaina
ini disebut “syadvada”. Baik anekantavada maupun syadvada merupakan dua aspek
dari ajaranyang sama –realistik dan prulalistik relativistik. Sisi
metafisikanya bahwa realitas mempunyai karakter yang tak terhitung jumlahnya
disebut anekantavada, sementara pandangan logika dan epistemologinya bahwa kita
hanya dapat mengetahui beberapa aspek saja dari suatu realitas di dunia dan
oleh karena itu keputusan-keputusan kita bersifat relativ, maka ia disebut
syadvada dan ada tujuh golongannya:
1.
syadasti:secara relative, sebuah benda riil.
2.
Syannasti:secara relative, sebuah benda tidak riil.
3.
Syadasti nasty:secara relative, sebuah benda keduanya riil dan tidak riil.
4.
Syadavaktavyam:secara relative, sebuah benda tak bisadijelaskan.
5. Syadasti
cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda riil dan tidak bisadijelaskan.
6.
Syannasti cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda tidak riil dan tidak
dapat di jelaskan.
7.
Syadasti cha nasty cha avaktavyam: secara relative, sebuah bendarill, tidak
riil dan tidak bisa dijelaskan.
PRAKTEK
KEAGAMAAN DALAM JAINISME
A.
Asketisme
Menurut jai nada dua motif melakukan kehidupan asketik, pertama
bahwa kehidupan asketik dianggap sebagai salah satu macam atletikisme spiritual
yaitu latihan spiritual para atlit menjelang pertandingan. Kedua, bahwa
kehidupan asketik itu menempatkan prinsip serba dua antara materi dan spirit
(jiwa). Alu mencari cara untuk membebaskan jiwa yang terkurung dalam daging.
Jainisme sangantmementingkan asketisme. Hal ini diandaikan sebagai
perjuangan mahavira untu memperoleh pengetahuan agungng. Karena itu sifat
asketik jainisme menjadi bgitu kstrim dan ketat.
B.
Etika penganut
agama Jain
Masyarakat
jainisme terdiri atas pendeta, biara dan orang kebanyakan. Hanya ada lima
disiplin spiritual didalam jainisme. Di dalam kasus kependetaan disiplin ini
benar-baner ketat, kaku dan sangat fanatik. Sementara dalam kasus orang umum
hal itu bisa di modifikasi. Kelima sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta),
sementara bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’ (anu-vrta). Kelima sumpah
tersebut adalah (1) ahimsa (non kekerasan), (2) satya (kebenaran di dalam
pikiran), (3) asteya (tidak mencuri), (4) brahmacharya (berpantang dari
pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan maupun perbuatan), dan (5) aparigraha
(ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan prbuatan). Dalam halo rang umum,
aturan ini bisa di modifikasi dan disederhanakan.[30]
Untuk orang
awam ada 12 atauran yang semula berasal dari aturan pendeta. Keduabelas aturan
tersebut adalah
1.
Tidak pernah menyengaja melenyapkan kehidupan
dari makhluk ang berorgan indra
2.
Tidak pernah berbohong
3.
Tidak mencuri
4.
Tidak berzina
5.
Tidak tamak
6.
Menghindari godaan-godaan
7.
Membatasi jumlah barang yang dipakai
sehari-hari
8.
Menjaga hal yang berlawanan dengan usaha untuk
menghindari dari kesalahan-kesalahan
9.
Menjaga periode-periode meditasi yang telah
dicapai
10. Mengamati
periode-periode penolakan diri
11. Memanfaatkan
periode-periode kesempatan menjadi pendeta
12. Member sedekah
Umat
awam juga memegag prinsip ahimsa, dengan melakukan diet vegetarian dan
selanjutnya melarang diri makan telor.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN
KALI JAGA PRESS, 1988)
2. Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: al Husna
Zikra), cet. lll, 1996
3.
I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat
India, (Denpasar: Mabhakti, 2003)
5. Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain,
dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[1]
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALI JAGA
PRESS, 1988)h, 151
[2]
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: al Husna Zikra), cet.
lll, 1996, h 128
[3]
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h. 152
[4]
http://abid3011.blogspot.com/2011/04/agama-jaina.html
diakses tgl 21 maret 2013
[5]
Ali, Mukti, Agama-agama di Dunia, h. 15153
[6]
Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan
Jain, diakses pada tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[7]
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia,
Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[8]
Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada
tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[9]
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia,
Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[10]
Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada
tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[11]
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia,
Yogyakarta: Hanindita offset, 1988, cet l, h. 151-152
[12]
Muhammad Mardiansyah, Agama Sikh Dan Jain, diakses pada
tanggal 21 maret, dari http://ardiceper.blogspot.com/2012/05/agama-sikh-dan-jain.html
[13].
http://arifuddinali.blogspot.com/2011/12/jainisme.html.
[14]
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di
Dunia, h 140-141
[17]
Ali, mukti, agama-agama di Dunia,
h.15158-159
[18]
Ibid, h. 159
[19]
Ibid, h. 160
[20]
Ibid, h. 162-163
[21]
Ibid. h. 164
[22]
Ibid, h. 164-166
[23]
http://www.iloveblue.com/agama-jain/
[24]
Ali, mukti, Agama-agama di Dunia,
h. 167-169
[25]
I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti, 2003), h
315-16
[26]
Ibid, h. 316
[27]
ibid
[28]
Ibid, h. 18
[29]
Ibid, h. 320
[30]
I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 319.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan